Banjir
Lumpur Panas Sidoarjo atau lebih dikenal
sebagai bencana Lumpur Lapindo, adalah peristiwa
menyemburnya lumpur panas di lokasi pengeboran Lapindo Brantas Inc di Dusun Balongnongo
Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, sejak tanggal29 Mei 2006. Semburan lumpur panas selama beberapa bulan ini
menyebabkan tergenangnya kawasan permukiman, pertanian, dan perindustrian di
tiga kecamatan di sekitarnya, serta memengaruhi aktivitas perekonomian di Jawa Timur.
UNSUR KIMIA PADA LUMPUR LAPINDO
Berdasarkan pengujian
toksikologis di 3 laboratorium terakreditasi (Sucofindo, Corelab dan Bogorlab)
diperoleh kesimpulan ternyata lumpur Sidoarjo tidak termasuk limbah B3 baik
untuk bahan anorganik seperti Arsen, Barium, Boron, Timbal, Raksa, Sianida Bebas
dan sebagainya, maupun untuk untuk bahan organik seperti Trichlorophenol,
Chlordane, Chlorobenzene, Chloroform dan sebagainya. Hasil pengujian
menunjukkan semua parameter bahan kimia itu berada di bawah baku mutu.[1]
Hasil pengujian LC50
terhadap larva udang windu (Penaeus monodon) maupun organisme akuatik
lainnya (Daphnia carinata) menunjukkan bahwa lumpur tersebut tidak
berbahaya dan tidak beracun bagi biota akuatik. LC50 adalah pengujian
konsentrasi bahan pencemar yang dapat menyebabkan 50 persen hewan uji mati.
Hasil pengujian membuktikan lumpur tersebut memiliki nilai LC50 antara
56.623,93 sampai 70.631,75 ppm Suspended
Particulate Phase (SPP)
terhadap larva udang windu dan di atas 1.000.000 ppm SPP terhadap Daphnia carinata.
Sementara berdasarkan standar EDP-BPPKA Pertamina, lumpur dikatakan beracun bila
nilai LC50-nya sama atau kurang dari 30.000 mg/L SPP.
Di beberapa negara,
pengujian semacam ini memang diperlukan untuk membuang lumpur bekas pengeboran
(used drilling mud) ke dalam laut. Jika nilai LC50 lebih besar dari
30.000 Mg/L SPP, lumpur dapat dibuang ke perairan.
Namun Simpulan dari Wahana Lingkungan Hidup menunjukkan hasil berbeda, dari
hasil penelitian Walhi dinyatakan
bahwa secara umum pada area luberan lumpur dan sungai Porong telah
tercemar oleh logam kadmium (Cd)
dantimbal (Pb)
yang cukup berbahaya bagi manusia apalagi kadarnya jauh di atas ambang batas.
Dan perlu sangat diwaspadai bahwa ternyata lumpur Lapindo dan
sedimen Sungai Porong kadar timbal-nya sangat besar yaitu mencapai 146 kali
dari ambang batas yang telah ditentukan. (lihat: Logam Berat dan PAH Mengancam Korban Lapindo)
Berdasarkan PP No 41
tahun 1999 dijelaskan bahwa ambang batas PAH yang diizinkan dalam lingkungan
adalah 230 µg/m3 atau setara dengan 0,23 µg/m3 atau setara dengan 0,23 µg/kg.
Maka dari hasil analisis di atas diketahui bahwa seluruh titik pengambilan
sampel lumpur Lapindo mengandung kadar Chrysene di atas ambang batas. Sedangkan
untuk Benz(a)anthracene hanya
terdeteksi di tiga titik yaitu titik 7,15 dan 20, yang kesemunya di atas ambang
batas.
Dengan fakta
sedemikian rupa, yaitu kadar PAH (Chrysene dan Benz(a)anthracene) dalam lumpur Lapindo yang mencapai 2000
kali di atas ambang batas bahkan ada yang lebih dari itu. Maka bahaya adanya
kandungan PAH (Chrysene dan Benz(a)anthracene) tersebut telah mengancam keberadaan manusia
dan lingkungan:
·
Bioakumulasi dalam jaringan lemak manusia (dan hewan)
·
Kulit merah, iritasi, melepuh, dan kanker kulit jika
kontak langsung dengan kulit
·
Kanker
·
Permasalahan reproduksi
·
Membahayakan organ tubuh seperti liver, paru-paru, dan
kulit
Dampak PAH dalam
lumpur Lapindo bagi manusia dan lingkungan mungkin tidak akan terlihat
sekarang, melainkan nanti 5-10 tahun kedepan. Dan yang paling berbahaya adalah
keberadaan PAH ini akan mengancam kehidupan anak cucu, khususnya bagi mereka
yang tinggal di sekitar semburan lumpur Lapindo beserta ancaman terhadap
kerusakan lingkungan. Namun sampai Mei 2009 atau tiga tahun dari kejadian awal
ternyata belum terdapat adanya korban sakit atau meninggal akibat lumpur
tersebut.
Sebab - Akibat pencemaran dari lumpur lapindo
menyimpulkan letusan lumpur
Lapindo bukan karena human error. Juga tidak
pada prosedur eksplorasi tak layak. Penyebabnya, begitu due dilligence dua
penelitian, karena faktor alam: gempa!
Teori Richard Davies, geolog asal Universitas Durham, Inggris, tentang lumpur Lapindo, terbantahkan. Davies sebelumnya berpendapat lumpur disebabkan prosedut kegiatan eksplorasi yang tak layak. Dia menilai pengeboran gas Banjar Panji-1 tak memenuhi syarat kelayakan.
Banyak pihak yang menjadikan penelitian Davies sebagai pijakan berpikir dan bertindak. Lapindo nyaris tersudut. Padahal, letusan lumpur, menurut penelitian sebagian besar ilmuwan dari berbagai negara, disebabkan gempa bumi yang pernah melanda Yogyakarta dan sekitarnya.
Kesimpulan penelitian itu terungkap dalam dua laporan terbaru yang dipaparkan dalam acara komunitas ilmuwan geolog di Cape Town, Afrika Selatan. Mereka menyimpulkan bahwa bencana letusan lumpur Sidoarjo bukan dipicu kegiatan pengeboran.
Laporan pertama dibuat berdasarkan studi due dilligence mengenai proses pengeboran. Pada laporan bertajuk Pengamatan pada Perencanaan Peristiwa Banjar Panji-1 dan Alasan Program Pengeboran, terungkap banyak hal. Antara lain soal perencanaan yang selayaknya operasi pengeboran demi menjaga prosedur industri. Perencanaan juga dilakukan dengan standar tinggi dengan menjaga keselamatan kru.
"Gempa dan gempa-gempa susulan di Yogyakarta serta dampak yang ditimbulkannya merupakan kunci penyebab kejadian," demikian penggalan dalam laporan tersebut.
Laporan ini ditulis dua orang insinyur petroleum terkemuka. Mereka adalah Maurice Dusseault PhD dari Universitas Waterloo, Kanada dan Baldeo Singh, insinyur S3 dari Massachusetts Institute of Technology, AS.
Bencana letusan lumpur Sidoarjo berawal pada tanggal 29 Mei 2006. Peristiwa itu terjadi setelah gempa bumi yang berkekuatan 6,3 skala richter menyerang Yogyakarta dan sekitarnya. Lumpur panas mulai meletus dari retakan panjang pada jarak 200 km dari pusat terjadinya gempa.
Sejak itu, 150.000 m3 lumpur terus keluar tiap hari, menggenangi desa-desa sekitar dan menyebabkan kerusakan pada infrastruktur lokal. Menurut para ahli, aliran lumpur sepertinya dapat berkelanjutan hingga waktu lama.
Laporan kedua due diligence disodorkan Ralph Adams, insinyur asal Kanada yang sudah berpengalaman 29 tahun dalam pengeboran minyak dan gas di Indonesia. Adams menulis laporan Banjar Panji-1 Well Control Incident Report.
"Program pengeboran dan perubahan rangka sumur pengeboran bukan menjadi penyebab letusan. (Semburan) dibuka oleh gempa besar kurang dari 24 jam sebelum kena sumur," tulisnya.
Dua hasil penelitian ini memperkuat kajian tim geologi Norwegia, Prancis, dan Rusia yang menyimpulkan gempa bumi Yogyakarta sebagai penyebab terjadinya letusan lumpur Sidoardjo. Tim yang dipimpin volkanolog lumpur, Dr. Adriano Mazzini dari University of Oslo, telah melaporkan hal ini di Earth and Planetary Science Letters pada 12 Juli 2007.
"Ini menunjukkan bahwa gempa bumi tersebut mendistribusikan tekanan berulang-ulang di beberapa bagian pada pulau Jawa," tulis Dr. Mazzini dalam laporannya. Di beberapa tempat yang dapat memperparah pecahan pada kesalahan terdahulu, menyebabkan tekanan hawa menjadi lembab. Sehingga menyerap dan menghasilkan letusan melalui banyak proses di bawah permukaan tanah.
Semula, pendapat Davies sempat menghasilkan perhatian besar dari media. Beberepa LSM menggunakannya untuk menyerang perusahaan eksplorasi joint-venture Indonesia-Australia, Lapindo Brantas Inc. Lapindo berhasil membela diri di pengadilan saat di tuntut oleh sebuah LSM lokal. Sebab LSM tersebut gagal memberikan bukti-bukti yang menunjukan kesalahan Lapindo.
Teori Richard Davies, geolog asal Universitas Durham, Inggris, tentang lumpur Lapindo, terbantahkan. Davies sebelumnya berpendapat lumpur disebabkan prosedut kegiatan eksplorasi yang tak layak. Dia menilai pengeboran gas Banjar Panji-1 tak memenuhi syarat kelayakan.
Banyak pihak yang menjadikan penelitian Davies sebagai pijakan berpikir dan bertindak. Lapindo nyaris tersudut. Padahal, letusan lumpur, menurut penelitian sebagian besar ilmuwan dari berbagai negara, disebabkan gempa bumi yang pernah melanda Yogyakarta dan sekitarnya.
Kesimpulan penelitian itu terungkap dalam dua laporan terbaru yang dipaparkan dalam acara komunitas ilmuwan geolog di Cape Town, Afrika Selatan. Mereka menyimpulkan bahwa bencana letusan lumpur Sidoarjo bukan dipicu kegiatan pengeboran.
Laporan pertama dibuat berdasarkan studi due dilligence mengenai proses pengeboran. Pada laporan bertajuk Pengamatan pada Perencanaan Peristiwa Banjar Panji-1 dan Alasan Program Pengeboran, terungkap banyak hal. Antara lain soal perencanaan yang selayaknya operasi pengeboran demi menjaga prosedur industri. Perencanaan juga dilakukan dengan standar tinggi dengan menjaga keselamatan kru.
"Gempa dan gempa-gempa susulan di Yogyakarta serta dampak yang ditimbulkannya merupakan kunci penyebab kejadian," demikian penggalan dalam laporan tersebut.
Laporan ini ditulis dua orang insinyur petroleum terkemuka. Mereka adalah Maurice Dusseault PhD dari Universitas Waterloo, Kanada dan Baldeo Singh, insinyur S3 dari Massachusetts Institute of Technology, AS.
Bencana letusan lumpur Sidoarjo berawal pada tanggal 29 Mei 2006. Peristiwa itu terjadi setelah gempa bumi yang berkekuatan 6,3 skala richter menyerang Yogyakarta dan sekitarnya. Lumpur panas mulai meletus dari retakan panjang pada jarak 200 km dari pusat terjadinya gempa.
Sejak itu, 150.000 m3 lumpur terus keluar tiap hari, menggenangi desa-desa sekitar dan menyebabkan kerusakan pada infrastruktur lokal. Menurut para ahli, aliran lumpur sepertinya dapat berkelanjutan hingga waktu lama.
Laporan kedua due diligence disodorkan Ralph Adams, insinyur asal Kanada yang sudah berpengalaman 29 tahun dalam pengeboran minyak dan gas di Indonesia. Adams menulis laporan Banjar Panji-1 Well Control Incident Report.
"Program pengeboran dan perubahan rangka sumur pengeboran bukan menjadi penyebab letusan. (Semburan) dibuka oleh gempa besar kurang dari 24 jam sebelum kena sumur," tulisnya.
Dua hasil penelitian ini memperkuat kajian tim geologi Norwegia, Prancis, dan Rusia yang menyimpulkan gempa bumi Yogyakarta sebagai penyebab terjadinya letusan lumpur Sidoardjo. Tim yang dipimpin volkanolog lumpur, Dr. Adriano Mazzini dari University of Oslo, telah melaporkan hal ini di Earth and Planetary Science Letters pada 12 Juli 2007.
"Ini menunjukkan bahwa gempa bumi tersebut mendistribusikan tekanan berulang-ulang di beberapa bagian pada pulau Jawa," tulis Dr. Mazzini dalam laporannya. Di beberapa tempat yang dapat memperparah pecahan pada kesalahan terdahulu, menyebabkan tekanan hawa menjadi lembab. Sehingga menyerap dan menghasilkan letusan melalui banyak proses di bawah permukaan tanah.
Semula, pendapat Davies sempat menghasilkan perhatian besar dari media. Beberepa LSM menggunakannya untuk menyerang perusahaan eksplorasi joint-venture Indonesia-Australia, Lapindo Brantas Inc. Lapindo berhasil membela diri di pengadilan saat di tuntut oleh sebuah LSM lokal. Sebab LSM tersebut gagal memberikan bukti-bukti yang menunjukan kesalahan Lapindo.
Semburan lumpur ini
membawa dampak yang luar biasa bagi masyarakat sekitar maupun bagi aktivitas
perekonomian di Jawa Timur. Sampai Mei 2009, PT Lapindo, melalui PT Minarak
Lapindo Jaya telah mengeluarkan uang baik untuk mengganti tanah masyarakat
maupun membuat tanggul sebesar Rp. 6 Triliun.
·
Lumpur menggenangi 16 desa di tiga kecamatan. Semula
hanya menggenangi empat desa dengan ketinggian sekitar 6 meter, yang membuat
dievakuasinya warga setempat untuk diungsikan serta rusaknya areal pertanian.
Luapan lumpur ini juga menggenangi sarana pendidikan dan Markas Koramil Porong.
Hingga bulan Agustus 2006, luapan lumpur ini telah menggenangi sejumlah
desa/kelurahan di Kecamatan Porong, Jabon, dan Tanggulangin, dengan total warga
yang dievakuasi sebanyak lebih dari 8.200 jiwa dan tak 25.000 jiwa mengungsi.
Karena tak kurang 10.426 unit rumah terendam lumpur dan 77 unit rumah ibadah
terendam lumpur.
·
Lahan dan ternak yang tercatat terkena dampak lumpur
hingga Agustus 2006 antara
lain: lahan tebu seluas 25,61 ha di Renokenongo, Jatirejo dan Kedungcangkring;
lahan padi seluas 172,39 ha di Siring, Renokenongo, Jatirejo, Kedungbendo,
Sentul, Besuki Jabon dan Pejarakan Jabon; serta 1.605 ekor unggas, 30 ekor
kambing, 2 sapi dan 7 ekor kijang.
·
Sekitar 30 pabrik yang tergenang terpaksa menghentikan
aktivitas produksi dan merumahkan ribuan tenaga kerja. Tercatat 1.873 orang
tenaga kerja yang terkena dampak lumpur ini.
·
Empat kantor pemerintah juga tak berfungsi dan para
pegawai juga terancam tak bekerja.
·
Tidak berfungsinya sarana pendidikan (SD, SMP), Markas
Koramil Porong, serta rusaknya sarana dan prasarana infrastruktur (jaringan
listrik dan telepon)
·
Rumah/tempat tinggal yang rusak akibat diterjang
lumpur dan rusak sebanyak 1.683 unit. Rinciannya: Tempat tinggal 1.810 (Siring
142, Jatirejo 480, Renokenongo 428, Kedungbendo 590, Besuki 170), sekolah 18 (7
sekolah negeri), kantor 2 (Kantor Koramil dan Kelurahan Jatirejo), pabrik 15,
masjid dan musala 15 unit.
·
Kerusakan lingkungan terhadap wilayah yang tergenangi,
termasuk areal persawahan
·
Pihak Lapindo melalui Imam P. Agustino, Gene-ral
Manager PT Lapindo Brantas, mengaku telah menyisihkan US$ 70 juta (sekitar Rp
665 miliar) untuk dana darurat penanggulangan lumpur.
·
Akibat amblesnya permukaan tanah di sekitar semburan
lumpur, pipa air milik PDAM Surabaya
patah [2].
·
Meledaknya pipa gas milik Pertamina akibat
penurunan tanah karena tekanan lumpur dan sekitar 2,5 kilometer pipa gas
terendam [3].
·
Ditutupnya ruas jalan tol Surabaya-Gempol hingga waktu yang tidak
ditentukan, dan mengakibatkan kemacetan di jalur-jalur alternatif, yaitu
melalui Sidoarjo-Mojosari-Porong dan jalur Waru-tol-Porong.
·
Tak kurang 600 hektar lahan terendam.
·
Sebuah SUTET milik PT PLN dan seluruh jaringan telepon dan
listrik di empat desa serta satu jembatan di Jalan Raya Porong tak dapat
difungsikan.
Penutupan ruas jalan
tol ini juga menyebabkan terganggunya jalur transportasi Surabaya-Malang dan
Surabaya-Banyuwangi serta kota-kota lain di bagian timur pulau Jawa. Ini
berakibat pula terhadap aktivitas produksi di kawasan Ngoro (Mojokerto)
dan Pasuruan yang
selama ini merupakan salah satu kawasan industri utama di Jawa Timur.
LUMPUR LAPINDO SECARA INDUSTRI
Empat mahasiswa Universitas Negeri Semarang
(Unnes) berhasil mengembangkan sebuah produk inovatif yang berasal dari lumpur
Lapindo Sidoarjo berupa baterai kering. Keempat mahasiswa tersebut yakni Aji
Christian Bani Adam, Umarudin, Oki Prisnawan Dani dan Yoga Pratama yang
berhasil meraih Juara II Technopreneurship Kemenristek 2012.
Karya mereka diberi nama Lusi Cell Battery, nama Lusi sendiri
diambil dari kata Lumpur Sidoarjo. "Sebagian besar orang menganggap
keberadaan lumpur lapindo sebagai bencana, kami mencoba mengambil sisi positif
dari bencana yang terjadi," ungkap mahasiswa jurusan kimia, Aji, Senin
(6/8/2012).
Ia mengatakan, kadar garam yang cukup tinggi ditambah dengan
sejumlah kandungan logam seperti seng, natrium, lantanida, merkuri, timbal dan
lainnya menjadi alasan mereka membuat produk inovatif tersebut.
"Logam yang terkandung dalam lumpur lapindo ini merupakan
bahan-bahan yang digunakan dalam baterai kering," tambahnya.
Penelitian hingga pembuatan produk yang dilakukan ungkapnya
membutuhkan waktu sekitar 7 bulan sejak Desember 2011. Dalam melakukan
penelitian tersebut, mereka mengaku rela untuk bolak-kalik Semarang-Sidoarjo.
Namun segala capek tidak begitu dirasakan setelah karyanya diakui dan berhasil
menyabet juara II Lomba Technopreneurship Kementerian Riset dan Teknologi Tahun
2012, yang digelar di Graha Widya Puspiptek Serpong, 9-21 Juli lalu.
Ia menjelaskan, baterai kering ini diproduksi dengan konsep
baterai primer atau sekali pakai seperti yang sering digunakan di masyarakat.
Pengolahan lumpur lapindo menjadi baterai tersebut melalui proses ekstraksi
pada logam yang dikandung pada lumpur dan dikomposisikan dengan bahan kimia
lainnya.
Hasil ekstraksi kemudian diolah menjadi sel kering yang kemudian
dimasukkan dalam selongsong baterai. "Ekstraksinya butuh waktu satu hari
tetapi pas memasukkan ke selongsong lebih cepat hanya sekitar 10-15 menit saja,
sedangkan untuk selongsongnya kami masih memanfaatkan selongsong bekas,"
ujarnya.
Berdasarkan uji yang dilakukan oleh tim tersebut, baterai ini
justru memiliki kekuatan 10 persen lebih lama dibanding baterai pada umumnya.
Pengujian tersebut dilakukan pada sebuah senter dengan durasi waktu lima jam.
Selain baterai, Aji mengaku akan memanfaatkan lumpur menjadi aki
kering dan saat ini masih dalam tahap penelitian.
Sekali pembuatan baterai mereka
mambutuhkan 2 kilogram lumpur untuk dijadikan 80 buah baterai. "Penjualan
akan kami lakukan saat perayaan Hari Teknologi Nasional (Harteknas) di Bandung
tanggal 8-11 Agustus nanti, dan hasilnya akan diwujudkan dalam bentuk beras
untuk diberikan pada korban lumpur," ungkapnya yang juga berencana akan
mematenkan produk tersebut.
Aji berharap produk ini bisa diterima di masyarakat sehingga
bisa mengajak korban lumpur lapindo untuk membuat baterai agar para korban
mendapatkan pekerjaan dan penghasilan.
Sementara itu, Pembantu Rektor III Unnes, Masrukhi mengaku
sangat bangga dengan prestasi yang diraih mahasiswanya. Ia berharap prestasi
ini bisa memotivasi mahasiswa lain untuk bisa berkarya dan berguna bagi
masyarakat luas.
Skenario penghentian
semburan lumpur
Ada pihak-pihak yang
mengatakan luapan lumpur ini bisa dihentikan, dengan beberapa skenario dibawah
ini, namun asumsi luapan bisa dihentikan sampai tahun 2009 tidak berhasil sama
sekali, yang mengartikan luapan ini adalah fenomena alam.
Skenario
pertama, menghentikan luapan lumpur dengan menggunakan snubbing unit pada sumur Banjar Panji-1. Snubbing unit adalah suatu sistem peralatan
bertenaga hidraulik yang umumnya digunakan untuk pekerjaan well-intervention & workover (melakukan suatu pekerjaan ke
dalam sumur yang sudah ada). Snubbing
unit ini
digunakan untuk mencapai rangkaian mata bor seberat 25 ton dan panjang 400
meter yang tertinggal pada pemboran awal. Diharapkan bila mata bor tersebut
ditemukan maka ia dapat didorong masuk ke dasar sumur (9297 kaki) dan kemudian
sumur ditutup dengan menyuntikan semen dan lumpur berat. Akan tetapi skenario
ini gagal total. Rangkaian mata bor tersebut berhasil ditemukan di kedalaman
2991 kaki tetapisnubbing unit gagal
mendorongnya ke dalam dasar sumur.
Skenario
kedua dilakukan
dengan cara melakukan pengeboran miring (sidetracking) menghindari mata
bor yang tertinggal tersebut. Pengeboran dilakukan dengan menggunakan rig milik PT Pertamina (persero). Skenario kedua ini
juga gagal karena telah ditemukan terjadinya kerusakan selubung di beberapa
kedalaman antara 1.060-1.500 kaki, serta terjadinya pergerakan lateral di
lokasi pemboran BJP-1. Kondisi itu mempersulit pelaksanaan sidetracking.
Selain itu muncul gelembung-gelembung gas bumi di lokasi pemboran yang
dikhawatirkan membahayakan keselamatan pekerja, ketinggian tanggul di sekitar
lokasi pemboran telah lebih dari 15 meter dari permukaan tanah sehingga tidak
layak untuk ditinggikan lagi. Karena itu, Lapindo Brantas melaksanakan
penutupan secara permanen sumur BJP-1.
Skenario
ketiga, pada tahap ini, pemadaman lumpur dilakukan dengan
terlebih dulu membuat tiga sumur baru (relief well). Tiga lokasi
tersebut antara lain: Pertama, sekitar 500 meter barat daya Sumur Banjar
Panji-1. Kedua, sekitar 500 meter barat barat laut sumur Banjar Panji 1.
Ketiga, sekitar utara timur laut dari Sumur Banjar Panji-1. Sampai saat ini
skenario ini masih dijalankan.
Ketiga skenario
beranjak dari hipotesis bahwa lumpur berasal dari retakan di dinding sumur
Banjar Panji-1. Padahal ada hipotesis lain, bahwa yang terjadi adalah fenomena
gunung lumpur (mud volcano), seperti di Bledug Kuwu di Purwodadi, Jawa Tengah. Sampai sekarang, Bledug Kuwu
terus memuntahkan lumpur cair hingga membentuk rawa.
Rudi Rubiandini,
anggota Tim Pertama, mengatakan bahwa gunung lumpur hanya bisa dilawan dengan
mengoperasikan empat atau lima relief
well sekaligus.
Semua sumur dipakai untuk mengepung retakan-retakan tempat keluarnya lumpur.
Kendalanya pekerjaan ini mahal dan memakan waktu. Contohnya, sebuah rig
(anjungan pengeboran) berikut ongkos operasionalnya membutuhkan Rp 95 miliar.
Biaya bisa membengkak karena kontraktor dan rental alat pengeboran biasanya
memasang tarif lebih mahal di wilayah berbahaya. Paling tidak kelima sumur akan
membutuhkan Rp 475 miliar. Saat ini pun sulit mendapatkan rig yang menganggur
di tengah melambungnya harga minyak.
Rovicky Dwi
Putrohari, seorang geolog independen, menulis bahwa di lokasi sumur Porong-1,
tujuh kilometer sebelah timur Banjar Panji-1, terlihat tanda-tanda geologi yang
menunjukkan luapan lumpur pada zaman dulu, demikian analisisnya. Rovicky
mencatat sebuah hal yang mencemaskan: semburan lumpur di Porong baru berhenti
dalam rentang waktu puluhan hingga ratusan tahun.
Dalam dokumen Laporan
Audit Badan Pemeriksa Keuangan tertanggal 29 Mei 2007 disebutkan temuan-temuan
bahwa upaya penghentian semburan lumpur tersebut dengan teknik relief well
tidak berhasil disebabkan oleh faktor-faktor nonteknis, diantaranya: peralatan
yang dibutuhkan tidak disediakan. Senada dengan temuan Badan Pemeriksa
Keuangan, Rudi Rubiandini juga menyatakan bahwa upaya penghentian semburan
lumpur dengan teknik relief well tersebut tidak dilanjutkan dengan alasan
kekurangan dana.




