Pendahuluan
Pangan merupakan salah satu
kebutuhan pokok yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Pengolahan dan
pengawetan bahan makanan memiliki interelasi terhadap pemenuhan gizi
masyarakat, maka tidak mengherankan jika semua negara baik negara maju maupun
berkembang selalu berusaha untuk menyediakan suplai pangan yang cukup, aman dan
bergizi. Salah satunya dengan melakukan berbagai cara pengolahan dan pengawetan
pangan yang dapat memberikan perlindungan terhadap bahan pangan yang akan
dikonsumsi.
Daging adalah urat yang
melekat pada kerangka kecuali urat dari bagian bibir, hidung dan telinga dari
hewan yang sehat sewaktu dipotong. Daging terdiri dari otot, jaringan
penghubung dan jaringan lemak.
Daging merupakan salah satu
bahan pangan bergizi tinggi disamping telur, susu dan ikan. Daging mengandung
protein, lemak, mineral, air serta vitamin dalam susunan yang berbeda
tergantung jenis makanan dan jenis hewan. Hewan yang berbeda mempunyai
komposisi daging yang berbeda pula.
Komposisi daging terdiri dari
75% air, 18% protein, 4% protein yang dapat larut (termasuk mineral) dan 3%
lemak. Ternak rata-rata menghasilkan karkas (bagian badan hewan) 55%,
macam-macam hasil sampingan 9%, kulit 6% dan bahan lainnya 30%. Daging yang
baik ditentukan oleh warna, bau, penampakan dan kekenyalan. Semakin daging
tersebut lembab atau basah serta lembek (tidak kenyal) menunjukan kualitas
daging yang kurang baik.
Pengawetan daging merupakan
suatu cara menyimpan daging untuk jangka
waktu yang cukup lama agar
kualitas maupun kebersihannya tetap terjaga. Tujuan pengawetan adalah menjaga
ketahanan terhadap serangan jamur (kapang), bakteri, virus dan kuman agar
daging tidak mudah rusak. Ada beberapa cara pengawetan yaitu: pendinginan,
pelayuan, pengasapan, pengeringan, pengalengan dan pembekuan. Usaha pengawetan
daging diperlukan untuk memenuhi selera atau kebutuhan konsumen serta
mempermudah dalam pengangkutan.
Pengawetan dengan cara
pengeringan dilakukan dengan penambahan garam, gula dan bahan kimia seperti
nitrat (NO3) dan nitrit (NO2). Penambahan garam, untuk pengawetan daging
kira-kira sepersepuluh dari berat daging. Disamping sebagai pengawet, garam
juga berfungsi sebagai penambah rasa.
1. Pengawetan Daging
Dendeng merupakan salah satu
produk awetan daging tradisional yang sangat populer di Indonesia. Dendeng
adalah lembaran daging yang dikeringkan dengan menambahkan campuran gula,
garam, serta bumbu-bumbu lain.
Selain mengandung protein
tinggi, dalam dendeng terdapat beberapa kandungan mineral seperti kalsium,
fosfor, dan besi. Masa simpannya yang lebih lama dibanding daging sapi, membuat
dendeng dapat dikonsumsikan ke daerah-daerah yang sangat kurang makanan.
Dendeng dapat dibuat dari
berbagai jenis daging ternak. Namun, yang umum dijumpai di pasaran adalah
dendeng sapi. Belakangan ini juga mulai dikenal dendeng ikan, udang, bekicot,
dan bahkan keong emas. Jenis ikan yang biasa diolah menjadi dendeng adalah ikan
air tawar (mujair, nila, dan belut) dan ikan air laut (japuh, kuning, tembang,
kakap, dan layaran).
Ditinjau dari cara pembuatannya,
dendeng dapat dikelompokkan menjadi dendeng sayat dan dendeng giling. Dendeng
sayat adalah daging yang disayat tipis-tipis yang setelah direndam dalam bumbu
kemudian dikeringkan, sedang dendeng giling adalah daging yang dicetak dalam
bentuk lembaran tipis setelah digiling dan ditambah bumbu-bumbu kemudian
dikeringkan.
Pada proses pembuatan
dendeng, umumnya ditambahkan bumbu-bumbu, seperti lengkuas, ketumbar, bawang
merah, lada, dan bawang putih. Selain itu juga ditambahkan gula dan garam.
Penambahan gula kelapa dan rempah-rempah pada dendeng memberikan sifat flavor
yang khas, dengan demikian dendeng dapat dibedakan dengan produk tradisional
daging semi basah lain, seperti pemmican, biltong, dan jerky.
Dendeng merupakan hasil
industri rumah tangga yang telah diterima luas oleh seluruh lapisan masyarakat
Indonesia. Produk sejenis dendeng juga dihasilkan di negara-negara lain di
Asia. Pada prinsipnya dendeng adalah hasil dari suatu proses kombinasi antara
kuring daging dan pengeringan.
2. Kuring Daging
Daging segar jika dipotong
mula-mula berwarna ungu, tetapi lama-kelamaan permukaannya segera berubah
menjadi merah terang dan akhirnya coklat. Terbentuknya warna coklat ini sering
digunakan sebagai petunjuk menurunnya mutu daging.
Daging yang dikehendaki adalah
yang selalu dalam keadaan segar dan berwarna merah ceri. Jika warnanya tidak
lagi merah, hilanglah pesona daging tersebut. Upaya mempertahankan warna merah
daging dilakukan dengan kuring.
Kuring merupakan suatu cara
perlakuan pendahuluan pada daging segar sebelum proses pengawetan selanjutnya
dilakukan, seperti untuk pembuatan daging corned (corned beef), daging asap (smoked
beef), dendeng (dried meat), sosis, dan lain-lain. Daging yang telah dikuring
disebut sebagai green cured meat. Proses kuring bertujuan mengawetkan,
mempersiapkan daging pada penggunaan berikutnya, menghambat pertumbuhan
mikroba, serta untuk menimbulkan rasa dan flavor yang enak.
Proses kuring adalah proses
penambahan garam, gula, dan sendawa (salpeter). Sendawa mengandung nitrat, yaitu
dalam bentuk natrium nitrat atau kalium nitrat. Jumlah sendawa yang digunakan
200 mg dalam setiap kilogram daging. Penggunaan sendawa secara berlebih dapat
menyebabkan terbentuknya senyawa nitrosamin (hasil reaksi antara nitrit dengan
amin dari protein) yang bersifat karsinogenik (dapat memicu timbulnya kanker).
Dalam proses kuring, garam
dapur berfungsi sebagai pengawet (ion klorida bersifat antibakteri) dan
pembangkit cita rasa, pemakaian garam sekitar 2-3 persen dari berat daging.
Gula berfungsi mengurangi rasa asin yang berlebihan akibat penambahan garam,
membentuk rasa yang spesifik, serta memperbaiki aroma dan tekstur daging.
Selama proses kuring
berlangsung, garam nitrat akan direduksi menjadi nitrit oleh bakteri. Kemudian
nitrit akan bereaksi dengan pigmen daging menimbulkan warna merah yang
diinginkan, sekaligus untuk menghambat pertumbuhan bakteri.
Kuring dapat dilakukan dengan
cara basah atau cara kering. Kuring cara basah dilakukan dengan merendam daging
yang akan dibuat dendeng dalam larutan kuring (campuran bahan kuring dengan
air) selama periode waktu tertentu. Kuring cara kering dilakukan dengan
membaluri daging dengan campuran bahan kuring. Dendeng yang dibuat dengan cara
kuring kering memberikan hasil yang lebih empuk, kadar garam NaCl dan nitrat
yang lebih tinggi, rasa dan warna yang lebih disukai, serta jumlah bakteri yang
lebih kecil dibandingkan dengan dendeng yang diolah dengan kuring basah.
3. Proses kuring
Daging yang akan dikuring
dibersihkan dari jaringan-jaringan lain yang tidak dikehendaki, kemudian dicuci
bersih dan ditiriskan selama kira-kira 30 menit. Sementara itu, garam (20
gram), gula (20 gram), dan sendawa (200 mg) dicampurkan menjadi satu dalam keadaan
kering. Campuran tersebut dibalurkan secara merata ke permukaan daging.
Selanjutnya daging ditempatkan dalam baskom dan disimpan pada suhu kamar
semalam. Sambil disimpan, daging dibolak-balik secara teratur agar warna
merah seragam dan merata. Apabila diinginkan kuring cara basah, campuran
kuring, air, dan daging direndam dalam campuran tersebut.
4. Bumbu Dendeng
Selain kesegaran dan mutu
daging, bumbu merupakan faktor kunci yang menentukan kualitas dan daya terima
dendeng. Pembuatan dendeng di Indonesia umumnya menggunakan bumbu garam, gula,
lengkuas, ketumbar, dan bawang merah. Kadang-kadang ada juga yang menambahkan
lada dan bawang putih. Gula yang ditambahkan dapat berupa gula merah maupun
gula pasir. Campuran bumbu berguna untuk menambah aroma, cita rasa, dan untuk
memperpanjang daya awet.
Beberapa jenis rempah telah
diketahui mempunyai daya antimikroba. Ketumbar dapat menimbulkan bau sedap dan
rasa pedas yang gurih, sehingga bau tidak sedap pada dendeng dapat dihilangkan.
Bawang putih dapat menimbulkan rangsangan tajam dan memacu selera makan. Gula
menambah rasa manis dan kelezatan, mengurangi rasa asin berlebihan akibat
penambahan garam, memperbaiki aroma dan tekstur daging. Gula juga berfungsi
melunakkan produk dengan mengurangi penguapan.
5. Prosedur Pembuatan Dendeng
Proses
pembuatan dendeng belum dibakukan karena merupakan seni memasak yang bersifat
rahasia. Namun demikian yang menguntungkan dalam pembuatan dendeng secara
tradisional adalah produk disesuaikan dengan kebiasaan makan masyarakat
didaerah dimana produk dibuat.
Bahan-bahan yang diperlukan:
Pengeringan
Dendeng
Dendeng tergolong dalam bahan
makanan semi basah (intermediate moisture food), yaitu bahan pangan yang
mempunyai kadar air tidak terlalu tinggi dan juga tidak terlalu rendah, yaitu
antara 15-50 %. Kadar air tersebut dapat dicapai melalui proses pengeringan
daging yang telah dibumbui. Pengeringan dendeng dapat dilakukan dengan bantuan
sinar matahari atau dengan menggunakan alat pengering buatan (artificial drying).
Dibandingkan dengan pengeringan secara alami, pada pengeringan buatan, hasil
yang diperoleh menjadi lebih bersih karena terhindar dari kontaminasi
(serangga, debu, dll) dan proses dapat dikontrol dengan baik (tidak tergantung
kepada keadaan cuaca).
Pada pengeringan dendeng,
terik matahari atau suhu alat pengering tidak boleh terlalu panas karena permukaan
dendeng akan menjadi retak-retak. Sebaliknya, bila sinar matahari kurang panas
dan tidak terus-menerus akan menyebabkan kapang mudah tumbuh. Kecepatan
pengeluaran air selama pengeringan dipengaruhi oleh luas permukaan, volume, dan
bentuk potongan dagingnya. Potongan daging yang tebal ataupun suhu pengeringan
yang terlalu tinggi dapat menyebabkan terjadinya case hardening, yaitu
suatu kondisi ketika bagian luar daging sudah kering, tetapi bagian dalamnya
masih basah. Hal ini memungkinkan mikroba untuk tumbuh dan berkembang biak,
sehingga daya awet dendeng menjadi berkurang.
7. Penyimpanan Dendeng
Pada pembuatan dendeng, faktor hygienis penting karena penurunan kadar air dan
aktivitas air hanya mampu mempertahankan daya simpan, sedang kondisi
penyimpanan memungkinkan mikroorganisme tumbuh terutama kapang /jamur.
Dendeng tahan terhadap
mikroorganisme selama penyimpanan pada suhu kamar (15-200C) namun pada minggu
ke-12 penyimpanan, jumlah jamur akan meningkat sedangkan pada suhu 300C peningkatan
jumlah jamur terlihat pada minggu ke-4 penyimpanan (Purnomo, 1986). Apabila
bahan kemasan, suhu dan kondisi penyimpanan kurang diperhatikan, maka daya awet
produk akan menurun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar